Jumat, 21 Oktober 2011

Sastra : Rindu Setengah Mati


Rindu Setengah Mati

Singaraja, 18 Februari 2010
            Matahari bersinar dengan sangat cerah. Daun-daun jendela terbuka lebar dan sirkulasi udara berjalan dengan baik. Ingin rasanya pagi ini aku berjalan-jalan keluar. Melihat bunga-bunga yang sedang bermekaran, angsoka merah jambu kesukaanmu. Entah mengapa, melihat semua itu justru membuatku semakin sesak.
            Bunda,
Belasan tahun di negeri orang tanpa sekalipun sempat mengunjungi kampung halaman bukanlah hal yang wajar di lingkungan tradisi kita. Wellington, kota yang selalu disiliri angin Samudera Pasifik, bercurah hujan cukup tinggi, agak dekat dengan titik poros rotasi bumi, namun terlalu jauh dari Bali, kota tempat anakmu terbaring lemah dan tidak berdaya. Selandia Baru bukan Indonesia. Wellington bukan Bali, namun keduanya harus lekat dalam genggamanmu.
Tidak ada yang abadi di dunia ini, karena yang kekal hanyalah perubahan. Begitu juga aku.....
Aku semakin tidak baik, Nda..... Semakin hari kian dekat dengan detik terakhirku dan Bunda belum juga kunjung datang melihatku. Orang-orang bilang aku punya segalanya. Papa, Nenek, Suster, juga Tante Carelina, sekertaris Papa, yang belakangan harus kupanggil dengan sebutan Mama, dan dua putri kembar mereka, Isa dan Dora. Entah mengapa aku selalu merasa kurang lengkap, tidak ada Bunda di sini.
Jujur, bukannya aku tidak senang Papa menikah lagi. Mama Carelina bukanlah orang yang aku benci, bukan juga tipe wanita yang kusegani. Ia cukup baik, namun di matanya aku tetap bukan anak kandungnya. Hanya harapan akan kedatangan Bunda yang membuatku mampu bertahan hingga saat ini..............

Sejenak wajah gadis mungil itu membeku. Seluruh tubuhnya terasa pegal, dan keringat dingin mulai bercucuran dengan deras. Ada sebersit kesedihan dalam air mukanya, juga ketakutan yang selalu terpancar dalam gerak tubuhnya yang gelisah.
“Pagi Neina,, cuaca sangat cerah hari ini”, kata Suster membuyarkan lamunannya.
“Apa aku masih bisa melihat dunia lagi besok?”, gumam Neina getir, seperti biasa. Itulah pertanyaan pertama yang terlontar dari bibir mungilnya, tiap kali Suster menyambutnya di pagi hari.
“Aku masih hidup kan besok??”, tanyanya sekali lagi.
“Iya sayang.. Pasti... Neina akan melihat indahnya mentari besok pagi, begitu juga pagi-pagi selanjutnya. Neina nggak perlu takut ya, sayang...”, jawab Suster lembut sambil menyodorkan obat dan segelas air putih yang harus diminum Neina.
Neina, gadis kecil pengidap kardiovaskuler yang hanya bisa melanjutkan hidup di atas sebuah pembaringan yang dirancang agar selalu hangat. Malihat usianya yang baru 16 tahun, sulit dipercaya bahwa gadis mungil itu mengidap sebuah penyakit yang menjadi penyebab kematian utama beberapa negara di dunia, termasuk Indonesia, dengan jumlah pengidap mencapai 26,4 % total penduduk Indonesia. Mirisnya, salah satu di antara mereka adalah Neina.
Secara umum, kondisi Neina tidak jauh berbeda dengan penderita kardiovaskuler lainnya. Tubuhnya kurus, lemas, dan pucat. Satu hal yang membuat Neina berbeda dari penderita kardiovaskuler lainnya adalah  kehidupan pribadinya yang sangat menyedihkan. Sebelas tahun yang lalu, ketika usianya baru 5 tahun, Papa dan Bundanya bercerai. Tak ada angin, tak ada ujan, tak ada badai, dan tak ada satu pun petir yang menguncang, saat Papa dan Bunda benar-benar memutuskan untuk berpisah, namun tetap saja Neina merasa ada benturan keras di dada dan pikirannya. Saat itu, ia telah divonis menderita kardiovaskuler, yang secara genetik diturunkan oleh kakek dari pihak Papanya, namun semua itu tidak cukup untuk mengubah niat kedua orang tuanya, dan perpisahan itu benar-benar harus terjadi.
Saat itu Neina berubah. Pandangannya akan hidup dan penyakitnya berubah 180 derajat. Ia menjadi pesimis akan bertahan hidup.  Terlebih setelah Bundanya menikah dengan bule asal Selandia Baru dan menetap di sana, juga Papanya yang menikah lagi dengan sekertaris pribadinya hingga memiliki dua orang putri kembar, Isa dan Dora.
Sulit melukiskan bagaimana kerinduan Neina pada Bundanya saat ini. Sebelas tahun lalu, ia hanyalah gadis 5 tahun yang menangis histeris saat Bundanya pergi. Ia terus menangis dan menangis. Tiap hari yang ia inginkan hanyalah satu. Bundanya datang, memeluk tubuhnya, mencium keningnya, dan berjanji tidak akan pergi lagi.
Jika dihitung secara kuantitatif, dengan menetapkan kelajuan rata-rata sebesar 0.02 mL per 10 detik, dalam 1 hari Neina bisa menghasilkan 200 mL air mata sekaligus. Jumlah yang terlalu banyak, dan terakumulasi sempurna selama lebih dari satu dekade. Andai saja tiap liter air matanya dihargai secara rupiah, mungkin sekarang ia sudah menjadi seorang milyarder. Namun kenyataannya, Neina tetaplah Neina yang hidup dengan kardiovaskuler mematikan dan haus akan kasih sayang seorang Ibu.
“NEINA....!!! NEINA....!!!!”, keadaan mendadak berubah ketika Neina tergeletak tak sadarkan diri usai menelan obat ketiganya pagi itu.
“Tenang semuanya.....tenang....Nafasnya masih ada. Kita berdoa saja, mudah-mudahan ambulan segera datang dan Tuhan masih memberi waktu untuk Neina. Oh Tuhan......Berikan kesempatan untuk gadis ini....”, kata Suster parau yang dijawab dengan tundukan kepala oleh Papa, Nenek, Mama Carelina, Isa, dan Dora yang juga ada di kamar itu.
Mukjizat....!!!! Neina membuka mata. Semua berlari menuju ke arahnya. Dengan sangat gemetar, Papa dan Nenek mendekatkan telinganya ke bibir Neina.
 “Pulpen....kertas....”, kata Neina parau.
Nenek yang tanggap, segera memberikan apa yang Neina mau. Tak satu pun yang ada dalam kamar itu bersuara. Mereka saling pandang, dan menunggu apa yang akan dilakukan oleh Neina.
Dalam kesunyian itu, Neina mulai mengisi lembar-lembar akhir dalam catatan kecilnya, sambil menggumam pelan dan sedikit terbata-bata.

“Bunda.......
Sulit mengatakan seberapa besarnya kerinduan Neina untuk bertemu Bunda. Neina sedih sekali karena sampai detik akhir ini pun Bunda tidak datang.
Neina benci takdir, tapi semua ini adalah kenyataan yang sangat pahit.  Neina tidak pernah menyesal. Bunda menikah dengan siapa pun itu Neina percaya Bunda sedang berjalan ke arah takdir Bunda. Hanya saja Neina sempat berharap, kecintaan Bunda pada Tuan Raoult tidak membuat Bunda lupa bahwa Neina masih ada di sini.
Neina sempat ingin hidup lebih lama saat ada Bunda yang selalu menjaga Neina. Tapi Bunda pergi dan tidak pernah datang lagi.
Haruskah Neina hidup??
Dulu, saat keseimbangan tubuhku mulai berkurang. Saat aku selalu terjatuh, saat Bunda selalu menyanggaku, aku sempat berpikir, dalam lindungan Bunda, seringkali pun aku terjatuh, aku takkan sampai tergeletak.
Tuhan sangat menyayangiku. Membiarkanku terlahir dari rahimmu. Membuatku sempat merasa hidup dalam kasih sayang yang hangat. Walau Bunda tak pernah datang lagi, sekali pun aku tak pernah menghapus wajah Bunda di dalam hatiku.
Neina ingin menangis, tapi Neina takut semua itu justru membuat Neina kehilangan banyak air mata.......
Neina rindu Bunda......
Neina percaya, semua orang akan berjalan ke arah takdirnya masing-masing, begitu juga Bunda dan Neina........

               Setelah itu, mendadak dunia begitu gelap. Langit berubah perlahan menjadi kelam. Sesekali isak tangis terdengar dari kerumunan orang di kamar itu. Dan rumah yang dulunya riang, kini berubah bak diselimuti kabut tebal.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar