Selasa, 08 April 2014

Reborn...!!

Malam ini (8/4) secara ngga sengaja saya mengetik kata kunci "kompleks ligan alami" di google. Masih nihil, kayaknya belum banyak yang tertarik dengan topik itu. Berniat untuk tidak menyerah begitu saja, saya coba geser vertical scroller ke bawah, iya semakin ke bawah, dan saya tidak punya alasan untuk tidak kaget ketika melihat blog bernama "Semir Edukasia" muncul dengan tagline judul abstrak saya beberapa tahun yang lalu. Astaga!

Ada hening yang sangat lama. Pertengahan 2011 lalu, accidentally blog itu ada, untuk melengkapi tugas akhir TIK semester genap. Nama "SEMIR edukasia" sendiri adalah ide bapak, katanya untuk mengingat keluarga Lembongan. Iyaa...dan sialnya, setelah itu (sampai senja menjelang malam tadi) saya sendiri lupa pernah membuatnya T.T

Baiklah, banyak hal yang terlintas dalam hati saya tadi, hingga detik ini juga saya mantap untuk kembali ke sini.
So much love untuk my prestigious 'natural ligand complex' yang memanggil saya pulang, membuat semuanya yang nyaris-tidak-pernah-ada menjadi akan-segera-ada. Membuat tulisan-tulisan dan cerita di dalamnya benar-benar sampai kepada teman-teman yang dalam ketidaksengajaannya berhasil 'tersesat' di sini.

Welcome to my improper life..
Love..[AS]

Jumat, 21 Oktober 2011

Sastra : Rindu Setengah Mati


Rindu Setengah Mati

Singaraja, 18 Februari 2010
            Matahari bersinar dengan sangat cerah. Daun-daun jendela terbuka lebar dan sirkulasi udara berjalan dengan baik. Ingin rasanya pagi ini aku berjalan-jalan keluar. Melihat bunga-bunga yang sedang bermekaran, angsoka merah jambu kesukaanmu. Entah mengapa, melihat semua itu justru membuatku semakin sesak.
            Bunda,
Belasan tahun di negeri orang tanpa sekalipun sempat mengunjungi kampung halaman bukanlah hal yang wajar di lingkungan tradisi kita. Wellington, kota yang selalu disiliri angin Samudera Pasifik, bercurah hujan cukup tinggi, agak dekat dengan titik poros rotasi bumi, namun terlalu jauh dari Bali, kota tempat anakmu terbaring lemah dan tidak berdaya. Selandia Baru bukan Indonesia. Wellington bukan Bali, namun keduanya harus lekat dalam genggamanmu.
Tidak ada yang abadi di dunia ini, karena yang kekal hanyalah perubahan. Begitu juga aku.....
Aku semakin tidak baik, Nda..... Semakin hari kian dekat dengan detik terakhirku dan Bunda belum juga kunjung datang melihatku. Orang-orang bilang aku punya segalanya. Papa, Nenek, Suster, juga Tante Carelina, sekertaris Papa, yang belakangan harus kupanggil dengan sebutan Mama, dan dua putri kembar mereka, Isa dan Dora. Entah mengapa aku selalu merasa kurang lengkap, tidak ada Bunda di sini.
Jujur, bukannya aku tidak senang Papa menikah lagi. Mama Carelina bukanlah orang yang aku benci, bukan juga tipe wanita yang kusegani. Ia cukup baik, namun di matanya aku tetap bukan anak kandungnya. Hanya harapan akan kedatangan Bunda yang membuatku mampu bertahan hingga saat ini..............

Sejenak wajah gadis mungil itu membeku. Seluruh tubuhnya terasa pegal, dan keringat dingin mulai bercucuran dengan deras. Ada sebersit kesedihan dalam air mukanya, juga ketakutan yang selalu terpancar dalam gerak tubuhnya yang gelisah.
“Pagi Neina,, cuaca sangat cerah hari ini”, kata Suster membuyarkan lamunannya.
“Apa aku masih bisa melihat dunia lagi besok?”, gumam Neina getir, seperti biasa. Itulah pertanyaan pertama yang terlontar dari bibir mungilnya, tiap kali Suster menyambutnya di pagi hari.
“Aku masih hidup kan besok??”, tanyanya sekali lagi.
“Iya sayang.. Pasti... Neina akan melihat indahnya mentari besok pagi, begitu juga pagi-pagi selanjutnya. Neina nggak perlu takut ya, sayang...”, jawab Suster lembut sambil menyodorkan obat dan segelas air putih yang harus diminum Neina.
Neina, gadis kecil pengidap kardiovaskuler yang hanya bisa melanjutkan hidup di atas sebuah pembaringan yang dirancang agar selalu hangat. Malihat usianya yang baru 16 tahun, sulit dipercaya bahwa gadis mungil itu mengidap sebuah penyakit yang menjadi penyebab kematian utama beberapa negara di dunia, termasuk Indonesia, dengan jumlah pengidap mencapai 26,4 % total penduduk Indonesia. Mirisnya, salah satu di antara mereka adalah Neina.
Secara umum, kondisi Neina tidak jauh berbeda dengan penderita kardiovaskuler lainnya. Tubuhnya kurus, lemas, dan pucat. Satu hal yang membuat Neina berbeda dari penderita kardiovaskuler lainnya adalah  kehidupan pribadinya yang sangat menyedihkan. Sebelas tahun yang lalu, ketika usianya baru 5 tahun, Papa dan Bundanya bercerai. Tak ada angin, tak ada ujan, tak ada badai, dan tak ada satu pun petir yang menguncang, saat Papa dan Bunda benar-benar memutuskan untuk berpisah, namun tetap saja Neina merasa ada benturan keras di dada dan pikirannya. Saat itu, ia telah divonis menderita kardiovaskuler, yang secara genetik diturunkan oleh kakek dari pihak Papanya, namun semua itu tidak cukup untuk mengubah niat kedua orang tuanya, dan perpisahan itu benar-benar harus terjadi.
Saat itu Neina berubah. Pandangannya akan hidup dan penyakitnya berubah 180 derajat. Ia menjadi pesimis akan bertahan hidup.  Terlebih setelah Bundanya menikah dengan bule asal Selandia Baru dan menetap di sana, juga Papanya yang menikah lagi dengan sekertaris pribadinya hingga memiliki dua orang putri kembar, Isa dan Dora.
Sulit melukiskan bagaimana kerinduan Neina pada Bundanya saat ini. Sebelas tahun lalu, ia hanyalah gadis 5 tahun yang menangis histeris saat Bundanya pergi. Ia terus menangis dan menangis. Tiap hari yang ia inginkan hanyalah satu. Bundanya datang, memeluk tubuhnya, mencium keningnya, dan berjanji tidak akan pergi lagi.
Jika dihitung secara kuantitatif, dengan menetapkan kelajuan rata-rata sebesar 0.02 mL per 10 detik, dalam 1 hari Neina bisa menghasilkan 200 mL air mata sekaligus. Jumlah yang terlalu banyak, dan terakumulasi sempurna selama lebih dari satu dekade. Andai saja tiap liter air matanya dihargai secara rupiah, mungkin sekarang ia sudah menjadi seorang milyarder. Namun kenyataannya, Neina tetaplah Neina yang hidup dengan kardiovaskuler mematikan dan haus akan kasih sayang seorang Ibu.
“NEINA....!!! NEINA....!!!!”, keadaan mendadak berubah ketika Neina tergeletak tak sadarkan diri usai menelan obat ketiganya pagi itu.
“Tenang semuanya.....tenang....Nafasnya masih ada. Kita berdoa saja, mudah-mudahan ambulan segera datang dan Tuhan masih memberi waktu untuk Neina. Oh Tuhan......Berikan kesempatan untuk gadis ini....”, kata Suster parau yang dijawab dengan tundukan kepala oleh Papa, Nenek, Mama Carelina, Isa, dan Dora yang juga ada di kamar itu.
Mukjizat....!!!! Neina membuka mata. Semua berlari menuju ke arahnya. Dengan sangat gemetar, Papa dan Nenek mendekatkan telinganya ke bibir Neina.
 “Pulpen....kertas....”, kata Neina parau.
Nenek yang tanggap, segera memberikan apa yang Neina mau. Tak satu pun yang ada dalam kamar itu bersuara. Mereka saling pandang, dan menunggu apa yang akan dilakukan oleh Neina.
Dalam kesunyian itu, Neina mulai mengisi lembar-lembar akhir dalam catatan kecilnya, sambil menggumam pelan dan sedikit terbata-bata.

“Bunda.......
Sulit mengatakan seberapa besarnya kerinduan Neina untuk bertemu Bunda. Neina sedih sekali karena sampai detik akhir ini pun Bunda tidak datang.
Neina benci takdir, tapi semua ini adalah kenyataan yang sangat pahit.  Neina tidak pernah menyesal. Bunda menikah dengan siapa pun itu Neina percaya Bunda sedang berjalan ke arah takdir Bunda. Hanya saja Neina sempat berharap, kecintaan Bunda pada Tuan Raoult tidak membuat Bunda lupa bahwa Neina masih ada di sini.
Neina sempat ingin hidup lebih lama saat ada Bunda yang selalu menjaga Neina. Tapi Bunda pergi dan tidak pernah datang lagi.
Haruskah Neina hidup??
Dulu, saat keseimbangan tubuhku mulai berkurang. Saat aku selalu terjatuh, saat Bunda selalu menyanggaku, aku sempat berpikir, dalam lindungan Bunda, seringkali pun aku terjatuh, aku takkan sampai tergeletak.
Tuhan sangat menyayangiku. Membiarkanku terlahir dari rahimmu. Membuatku sempat merasa hidup dalam kasih sayang yang hangat. Walau Bunda tak pernah datang lagi, sekali pun aku tak pernah menghapus wajah Bunda di dalam hatiku.
Neina ingin menangis, tapi Neina takut semua itu justru membuat Neina kehilangan banyak air mata.......
Neina rindu Bunda......
Neina percaya, semua orang akan berjalan ke arah takdirnya masing-masing, begitu juga Bunda dan Neina........

               Setelah itu, mendadak dunia begitu gelap. Langit berubah perlahan menjadi kelam. Sesekali isak tangis terdengar dari kerumunan orang di kamar itu. Dan rumah yang dulunya riang, kini berubah bak diselimuti kabut tebal.

Artikel : Potensi Wisata Nusa Lembongan

Menguak Potensi Nusa Lembongan sebagai Kawasan Wisata Budi Daya Rumput Laut jenis Eucheuma cottoni

            Bagi Pariwisata Bali, keberadaan Pulau Nusa Lembongan adalah kebanggaan tersendiri yang tak bernilai harganya. Sebagai salah satu pulau yang diistimewakan,  hal ini tentu bukanlah suatu hal yang berlebihan, mengingat pulau yang terletak di sebelah selatan Pulau Bali ini menyimpan sejuta keunikan yang memukau wisatawan, baik lokal maupun mancanegara.
            Berbicara mengenai Nusa Lembongan, tentu pikiran kita akan tergiring pada keindahan Pantai Tanjung Sanghyang, pemandangan pertama yang akan dijumpai saat pertama kali menginjakkan kaki di pulau kecil tersebut. Hampir setiap orang yang pernah berkunjung ke tempat ini berpendapat bahwa semua keindahan Pulau Lembongan dapat teramati sepenuhnya di Pantai bernuansa pasir putih tersebut. Mungkin karena hamparan pohon bakau yang menjulang tinggi, juga air laut yang bernuansa kehijauan, atau mungkin suasana sunset yang eksotis menimbulkan kesan untuk kembali lagi melihatnya di lain waktu. Namun, percaya atau tidak, anggapan tersebut tidaklah sepenuhnya benar. Lembongan tidak hanya terbatas pada Pantai kecil itu, namun jauh di dalam sana, banyak kearifan lokal dan budaya yang tak kalah menarik untuk dikunjungi, salah satunya adalah pembudidayaan rumput laut khususnya jenis Eucheuma cottoni.
            Bagi masyarakat Lembongan, rumput laut adalah hidup mereka. Di tiap-tiap rumah, di tiap-tiap keluarga, hampir tidak ada pekerjaan lain yang dilakukan selain bergelut dalam tumpukan-tumpukan rumput laut yang menjamur. Saat ini dapat dikatakan hampir 90% masyarakat di sana berprofesi sebagai petani rumput laut. Tak khayal jika Nusa Lembongan ditengarai sebagai tempat yang paling tepat untuk mengamati proses pembudidayaan rumput laut, dari pembibitan hingga pemasaran.
            Melihat potensi yang luar biasa ini, Pemerintah daerah Kabupaten Klungkung telah menetapkan sebuah kawasan yang khusus ditujukan untuk budi daya rumput laut, yakni Pantai Tanjung Karang, yang terletak relatif tidak jauh dari komplek penginapan di daerah Tanjung Sanghyang. Di pantai yang banyak dipenuhi batu karang inilah kegiatan-kegiatan budi daya rumput laut Eucheuma cottoni dilakukan, mulai dari pembibitan hingga pemasaran, walaupun sering kali karena alasan efektivitas kegiatan pembibitan sering dilakukan di masing-masing rumah katika senja dan malam hari.
            Beberapa tahun lalu, saat belum ada publikasi khusus yang dilakukan masyarakat dan pemerintah untuk menjadikan tempat tersebut merangkap sebagai objek wisata, petani-petani rumput laut sering merasa kesulitan dalam memasarkan rumput laut mereka. Biasanya hanya ada beberapa orang saudagar yang bersedia membeli, padahal jumlah rumput laut yang dihasilkan sangatlah melimpah. Baru setelah beberapa tahun terakhir, tempat ini berkembang menjadi kawasan budi daya yang merangkap sebagai objek wisata edukatif dan mulai mendapat perhatian pihak luar.
            Saat ini, setiap harinya tak kurang dari 50 wisatawan asing yang berkunjung ke pantai tersebut. Uniknya, selain dapat melihat dan mempraktekkan langsung kegiatan budi daya rumput laut, wisatawan yang datang juga sekaligus dapat membeli rumput laut kering sebagai oleh-oleh khas Lembongan. Saat ini tersedia berpuluh-puluh sampan yang siap mengantar wisatawan ke tengah pantai untuk melihat langsung pembudidayaan rumput laut, lengkap dengan guide atau warga setempat yang dengan senang hati akan menjelaskan semua yang berhubungan dengan rumput laut, khususnya jenis Eucheuma cottoni yang paling banyak dibudidayakan di sana.
            Namun demikian, ironisnya wisatawan yang datang hanya terbatas pada wisatawan asing, sementara wisatawan lokal Indonesia sangatlah jarang bahkan terkesan tidak ada. Padahal kawasan tersebut adalah kawasan yang sangat potensial, tidak hanya untuk berekreasi, namun juga menambah wawasan  dan pengetahuan tentang budi daya rumput laut, sekaligus memudahkan petani di sana memasarkan rumput laut mereka, mengingat rumput laut jenis Eucheuma cottoni adalah salah satu spesies rumput laut yang sangat berkhasiat di bidang kesehatan, bahkan penemuan terakhir mengatakan bahwa Eucheuma cottoni merah mengandung senyawa fikoeritrin dan fikosianin yang dapat digunakan sebagai agen anti kanker yang sangat potensial. Untuk itulah diharapkan Pemerintah dan masyarakat setempat dapat berkerjasama untuk membangun, mengembangkan, dan mempublikasikan kawasan budi daya rumput laut di Nusa Lembongan sebagai salah satu objek wisata alam yang berwawasan edukatif.

Artikel : Pare sebagai Antidiabetes


Menyingkap Khasiat Pare (Momordica charabtia) Sebagai Antidiabetes
Tanaman pare (Momordica charabtia) berasal dari kawasan Asia Tropis, namun belum dipastikan sejak kapan tanaman ini masuk ke wilayah Indonesia. Saat ini tanaman pare sudah dibudidayakan di berbagai daerah di wilayah Nusantara. Umumnya, pembudidayaan dilakukan sebagai usaha sampingan. Pare ditanam di lahan pekarangan, atau tegalan, atau di sawah bekas padi sebagai penyelang pada musim kemarau.
Ada sederetan penyebutan nama tanaman pare, misalnya: paria, parea, pepareh, popare, papari, pepare, pariane, kambeh, paya, prieu, foria, pariak, paliak, truwuk, paita, poya, pudu, pentoe, beleng-gede, pania, pepule, kakariano, dan taparipong. Ini menunjukkan bahwa tanaman pare sudah tersebar di berbagai pelosok daerah. Hanya saja, masih banyak belum mengetahui bahwa pare ternyata bisa dimanfaatkan untuk menyembuhkan beberapa penyakit, di samping dapat meningkatkan kesehatan manusia.
Adapun kandungan gizi buah pare (Momordica charabtia)  dalam 100 gram:
No
Kandungan Gizi
Jumlah
1.
Kalori
29,00 kal
2.
Protein
1,10 gr
3
Lemak
0,30 gr
4.
Karbohidrat
6,60 gr
5.
Kalsium
45,00 mg
6.
Fosfor
64,00 mg
7.
Zat besi
1,40 mg
8.
Vitamin A
180,00 SI
9.
Vitamin B
0,08 mg
10.
Vitamin C
52,00 mg
11.
Air
91,20 gr

Berbagai riset dan penelitian menunjukkan bahwa pare sangat baik untuk penderita diabetes. Penelitian yang diterbitkan di Asia Pacific Journal of Clinical Nutrition membuktikan bahwa pemberian secara oral ekstrak biji pare 150 mg per kg berat badan selama 30 hari, dapat menurunan gula darah secara signifikan. Pare dapat memproduksi beta sel pankreas, sehingga pada penderita diabetes pare bermanfaat untuk mengurangi stres oksidatif. Pada suatu uji klinis pare, sembilan pasien diabetes tipe-1, pemberian ekstrak pare dengan injeksi subkutan secara signifikan dapat menurunkan gula darah dibandingkan kontrol.
Hasil penelitian menyarankan, dosis pare untuk mengendalikan diabetes adalah jus segar sebanyak 50-100 ml. Untuk bubuk kering, dosisnya adalah 3-15 gram per hari. Sedangkan untuk ekstrak kapsul pare terstandar, yang dianjurkan adalah sebanyak 100-200 mg tiga kali sehari. Namun demikian, tetap kita harus berhati-hati dalam menggunakannya, sebab ada efek samping dan toksisitas pada pare.
            Meskipun terkenal sebagai pengontrol diabetes, pare juga punya efek antioksidan. Menurut Dr.Maoshing Ni dalam bukunya Second Spring, pare mengandung vitamin A, B1, B3, dan C. Kandungan potasium pare dua kali lebih banyak dari pisang dan mengandung kalsium dua kali lebih banyak dari bayam. Selain itu, pare juga mengandung antioksidan berupa likopen, lutein, zeaksantin, dan zat warna hijau yang dapat menggagalkan proses reproduksi sel kanker payudara.
Dunia menaruh harapan pada buah pare sebagai anti-diabetes, oleh karena obat kimiawi tidak lebih aman dan lebih murah dibandingkan obat alami seperti buah pare. Untuk itu, disarankan kepada masyarakat agar mengonsumsi pare demi menambah asupan gizi keluarga.